Sabtu, 16 Oktober 2010

GELIAT NEOLIBERALISME

ND-JATIM : Neoliberalisasi ekonomi dengan spirit neoliberalismenya sebagai ideologi, ternyata telah mengalami perjalanan panjang dalam sejarah. Dari kajian literatur yang ada, dapat diketahui bahwa sejarah terbentuknya kelompok pendukung Neoliberalisme ini dimulai ketika tahun 1947 F.A Hayek mengundang beberapa pakar dari Amerika Utara dan Eropa untuk menghadiri sebuah konferensi di Mont Pelerin, Swiss (Deliarnov, 2002). Pakar dari berbagai latar belakang keahlian tersebut di antaranya Milton Friedman, George Stigler, Karl Popper, Lionel Robbins, Wilhem Ropke, Ludwig von Mises, Michael Polanyi, Salvador di Madariga, Walter Euchen dan lain-lain. Dari hasil konferensi, terbentuk kelompok yang dinamakan “The Mont Pelerin Society” (MPS). Mereka mengadakan pertemuan rutin setiap 2 tahun untuk mengikuti perkembangan yang terjadi.
Hayek dapat dikatakan sebagai tokoh kedua setelah Adam Smith yang sangat mendukung paham individualisme dan liberalisme. Dalam bukunya yang sangat terkenal The Road to Serfdom (1944), Hayek (dalam Deliarnov, 2002) mengatakan, “Dengan membiarkan jutaan individu melakukan reaksi terhadap harga pasar yang terbentuk secara bebas, akan terjadi optimalisasi  alokasi modal, kreatifitas manusia dan tenaga kerja dengan cara yang tak mungkin ditiru oleh perencanaan terpusat, sehebat apapun perencanaan itu”
Pemasungan kreatifitas manusia tersebut perlu dicegah, sebab akan menimbulkan dampak negatif bagi bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Bagi pendukung Neoliberalisme, pertumbuhan ekonomi akan optimal jika dan hanya jika lalu lintas barang/ jasa/ modal tidak dikontrol oleh aturan atau regulasi apapun (Deliarnov, 2002). Optimalisasi itu sendiri hanya akan terjadi bila barang, jasa dan modal dimiliki sekaligus dikuasai oleh orang-perorangan yang akan digerakkan untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. Hal ini dimotori oleh pernyataan Friedman dalam Capitalism and Freedom (1962) yang mengatakan, “Ada satu, dan hanya satu, tanggung jawab sosial perusahaan atau bisnis, yaitu menggunakan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk mengumpulkan laba sebanyak-banyaknya”.
Ditinjau dari perspektif ideologi, ada perbedaan mendasar antara kubu Liberal Klasik dengan Neoliberal. Kalau Liberal Klasik mengharapkan agar pasar dijadikan sebagai cara terbaik untuk mengatur jalannya perekonomian, kubu Neoliberal mendesak pasar dijadikan satu-satunya cara untuk mengatur perekonomian dan sekaligus dijadikan sebagai satu-satunya tolok ukur untuk menilai kegagalan atau keberhasilan semua kebijakan pemerintah.
Dalam perkembangannya, paham neoliberalisme dengan mudah diterima di Inggris dan Amerika. Sedangkan di Eropa pada mulanya sistem ini ditolak. “Alasan penolakan mereka karena masyarakat Eropa pada umumnya masih menghargai model solidaritas sosial yang dicapai dengan sistem kesejahteraan yang komprehensif dan kerja sama ekonomi” (Deliarnov, 2002: 169). Mereka juga meyakini bahwa perekonomian harus dikelola demi masyarakat umum, bukan demi individu-individu.
Akan tetapi, di awal tahun 2000 tingginya tekanan-tekanan yang ditimbulkan oleh pengangguran dan jebakan penyatuan moneter Eropa memaksa kubu Sosialis tradisional Eropa untuk mau menerima Neoliberalisme sebagai zeitgeist atau semangat zaman (Heertz dalam Deliarnov, 2003). Akhirnya lama-kelamaan hampir semua negara Eropa yang selama ini dikenal menganut negara kesejahteraan mulai terpengaruh ajaran Neoliberalisme.
Pengaruh ideologi kapitalis pasar bebas yang dijiwai oleh ideologi Neoliberalisme kemudian juga sangat terasa di negara-negara industri baru (Newly Industrialized Countries, NICs) di Asia Timur dan Asia Tenggara. Mulai dari Jepang, Empat Macan Asia (Taiwan, Hong Kong, Korea Selatan dan Singapura) dan Tiga Anak Macan Asia Tenggara (Malaysia, Thailand dan Indonesia). Seperti di negara-negara maju, negara-negara industri baru yang terjangkit paham Neoliberalisme ini juga menganggap bahwa free enterprise sebagi kunci sukses ekonomi. Dan bahwa korporasi yang berhasil dan tidak dikekang diyakini akan mampu membawa masyarakat menuju “Nirwana”.
Dalam hal ini perlu dijelaskan, walau banyak negara-negara industri baru di Asia Timur dan Asia Tenggara yang mengadopsi mekanisme pasar bebas, campur tangan pemerintah tidak sama sekali surut untuk digantikan oleh perusahaan-perusahaan korporasi swasta seperti yang dilakukan oleh pemerintahan Inggris di bawah Thatcher dan Amerika Serikat di bawah Reagan (Deliarnov, 2002). Di negara-negara industri baru, Asia Timur khususnya, campur tangan pemerintah masih kuat. Bahkan ikut aktf mempromosikan perekonomian yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan swasta. Hal ini kelihatan sekali dalam keterlibatan pemerintah melalui Ministry of International Trade and Industry (MITI) yang berkolaborasi dengan kieretzu di Jepang. Bentuk kerja sama pemerintah-pengusaha juga sangat tampak dalam kolaborasi pemerintah dengan chaebol di Korea Selatan, serta kongkalikong pengusaha-pengusaha di Indonesia. Kunci keberhasilan negara-negara industri baru di Asia Timur ialah pengembangan ekspor yang dilakukan dengan menoptimalkan keunggulan komparatif maupun kompetitif dalam tatanan ekonomi yang semakin bersaing, dan negara memegang peranan dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan (Wade dalam Deliarnov, 1989).
Selain semakin banyak diadopsi oleh negara-negara maju di Eropa dan negara-negara industri baru di Asia Pasifik, ajaran Neoliberalisme juga semakin banyak diadopsi oleh negara-negara berkembang. Apalagi sejak kehancuran yang menimpa negara-negara Sosialis/ Komunis, makin banyak saja negara yang mengadopsi ideologi pasar bebas ini. Tidak hanya oleh negara-negara Amerika Lain dan Afrika, bahkan juga di bekas negara-negara Sosialis/ Komunis seperti Rusia, China dan Vietnam. [*]
dinukil dari skripsi “Tantangan Neoliberalisasi dan Tuntutan Kemandirian Ekonomi Daerah di Era Otonomi” oleh HERMANTO (FISIP UPM)