Selasa, 13 September 2011

Kegelisah Buya Syafi'i Ma'arif dan Prof. Azyumardi Azra

ND-JATIM : Dua tokoh nasional dari Minang, entah sengaja atau tidak, menulis kegelisahan yang hampir sama di dua surat kabar nasional hari ini. Buya Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif dengan artikel “Demokrasi dan Peluang untuk Perbaikan” di Resonansi Republika, dan Prof. Azyumardi Azra lewat tulisan “Apatisme Politik” di Opini Kompas. Dua Guru Besar Sejarah yang menyelesaikan Master dan Doktor di Amerika Serikat ini memiliki kegelisahan hampir senada tentang kondisi yang menimpa bangsa ini di bawah kepemimpinan 5 tahun kedua Susilo Bambang Yudoyono.

Sabtu, 10 September 2011

Kiprah dan Jejak Politik Masyumi


Bendera Masyumi
Oleh: Muh. Herman Ibnu Nurdin
Catatan: Tulisan ini pernah di muat di Majalah SAKSI, edisi bulan Oktober 2005 

Jalan Kehidupan M. Natsir

M. Natsir Khadimul Ummah
Sudah lebih dari setengah abad lalu Pak Natsir mengingatkan bahwa demokrasi sekuler dapat berujung pada berbagai musibah kemanusiaan. Tanpa intervensi wahyu, manusia dapat terperangkap pada dorongan nafsu hewaniah dan meluncur ke arah anarki, chaos atau faudhau. Pak Natsir amat memahami teori dan praktek demokrasi, tetapi sekaligus melihat dengan jernih keterbatasannya. Theodemokrasi adalah demokrasi yang dibimbing oleh kebenaran wahyu. (M. Amien Rais)
Bangsa Indonesia, seperti halnya bangsa lain, tidak melahirkan banyak negarawan sekalipun memproduksi banyak politikus. Menurut sebuah kasus, negarawan adalah seorang yang memanfaatkan kepemimpinan politiknya secara arif dan waskita tanpa dibarengi kesetiaan sempit.
Sebuah teori kepemimpinan mengatakan negarawan adalah seorang yang memiliki wawasan dan moral yang jernih, konsistensi, persistensi, kemampuan berkomunikasi dan berjiwa besar. Pak Natsir memiliki itu semua.